Kamis, 07 Juni 2018

RAMADHAN TERAKHIR UNTUK IBU (Cerpen)


Hujan deras ini benar-benar membuka seluruh memori lamaku bersama sesosok wanita yang sejak tujuh belas tahun lalu tiada. Hujan sore ini mampu melelehkan kerasnya hati yang selama ini lupa bahwa dalam diriku mengalir darah pahlawan tanpa tanda jasa, pahlawan yang kasihnya sepanjang masa dan pahlawan yang cintanya terang, seterang sang surya yang ikhlas menyinari dunia. Hujan sore ini benar-benar membawa ingatanku jauh ke belakang. Mengenang gelora perjuangannya yang tak pernah padam. IBU.

***

“Bu….Ibu, Ibu di mana?” teriakku.

“ia Rif, ibu di dapur, ada apa?” jawab ibu sembari masak sayur kacang kesukaanku untuk berbuka puasa.

Arif Hasan adalah nama lengkapku. Ibu sering memanggilku Arif, namun sesekali ia memanggilku Hasan. Ntahlah, ntah mengapa ibu jarang sekali memanggilku dengan sebutan Hasan, padahal seluruh tetangga dan teman-temanku sangat akrab memanggilku dengan sebutan Hasan. Sering aku bertanya akan hal ini pada Ibu, namun jawaban ibu selalu sama “Ibu ingin melihatmu menjadi orang yang bijaksana dan berlaku arif pada semua orang”. Itulah jawabnya. Tak berubah. Bahkan pada saat terakhirnya di dunia, pertanyaanku belum juga terjawab, saat itu ia hanya memanggilku “Hasan” dan itulah kata terakhir yang kudengar dari ibu.

Sebagai anak satu-satunya aku sangat disayang ibu. Namun aku sering merasa sedih sebab aku tidak pernah melihat ayahku, ayah telah meninggalkan kami –aku dan ibu– ketika aku masih dalam kandungan. Hanya foto hitam putih yang hampir usang berukuran 6×8 cm yang selalu menjadi pengobat rinduku pada ayah.

“Ini bu, anu, emm..,” jawabku tersendat-sendat sambil mengatur nafasku yang belum stabil setelah lari marathon dari rumah pak Yadi, guru mengaji sekaligus imam masjid di kampungku.

“Ada apa rif? Kok ona anu, ona anu gitu?” Tanya ibu keheranan.

“Begini bu, tadi Arif bertemu dengan pak Yadi, beliau bilang malam ini adalah giliran kita menyediakan makanan buat jamaah yang membaca Al Qur’an (tadarus) di Masjid,” jawabku semangat.

Seperti biasa, setiap bulan Ramadhan, di Masjid Al-Amin di kampungku, baik anak-anak, remaja maupun ibu-ibu, semuanya membaca Al-Qur’an. Rutin setiap malam. Semangat mereka sangat luar biasa untuk memperbanyak ibadah di bulan yang paling suci ini, berlomba-lomba mengkhatamkan Al-Qur’an. Sehingga akupun ikut terhanyut oleh euforia ibadah yang pasti berhadiah surga.

“Astaghfirullah, ibu lupa nak,” jawab ibu gemetar.

Kulihat mata ibu, aku tahu, rasa bersalah, penyesalan dan sedih sedang bergemuruh di hati ibu. Ku coba untuk tenang, pura-pura tidak tau apa yang sedang terjadi.

“Ada apa bu?” jawabku cepat.

“Nggak…nggak ada apa-apa kok, yasudah sekarang kamu mandi ya,  ibu sudah siapkan minuman dan makanan kesukaanmu untuk berbuka puasa,” jawab ibu seolah mengalihkan pembicaraan.

“Ia, ibukk. Siap,” jawabku kegirangan sambil menghormati pada ibu, layaknya seorang polisi sedang melapor pada komandannya.

Secepat kilat kulaju kakiku menuju kamar mandi, aku sudah tidak sabar ingin segera menikmati lezatnya masakan ibuku yang tiada tandingannya, walau dengan sajian hotel berbintang-bintang sekalipun.

Ramadhan kali ini memang sangat berbeda dengan bulan-bulan Ramadhan sebelumnya. Ramadhan kali ini aku duduk di kelas I SMP. Sudah saatnya aku harus menjadi dewasa, sebab aku harus mampu menjaga dan membatu ibuku mencari nafkah. Sampai saat ini ibu belum memiliki pekerjaan tetap. Sejak ditinggal oleh ayah, ibuku selalu bekerja sendirian siang dan malam. Kerjanya serabutan. Terkadang ibu harus sprint dari satu rumah ke rumah lain untuk mencuci pakaian, ibu juga pernah memungut barang-barang bekas dari tempat sampah hanya demi membahagiakan diriku. Sehingga tak jarang ibuku berlinangan air mata sebab seharian tidak mendapatkan uang. Ibu juga sering harus menahan lapar demi diriku, namun ia tak pernah putus asa untuk membahagiakan dan menyekolahkanku.

Aku tau bahwa ibu ingin sekali melihatku menjadi orang sukses dan berguna. Semangat itulah yang membuatku selalu tegar dan yakin walaupun keadaan tak mendukung, walaupun hari-hari terasa sangat sulit bagiku, walau tidak sedikit yang meremehkanku. Aku ingin suatu hari nanti bisa berkeliling dunia, khususnya aku ingin menginjakkan kaki di negeri seribu menara itu, negeri peradaban dan negeri para syuhada. Satu lagi, aku ingin sekali membawa ibuku ke mekah.

Ini adalah bulan Ramadhan. Ibu pernah bilang bahwa bulan ini adalah bulan penuh hikmah, bulan penuh ampunan dan bulan dikabulkannya doa bagi siapapun yang tulus meminta. Inilah kesempatan bagiku untuk senantiasa memohon pada Allah SWT agar semua cita-cita dan keinginanku untuk membahagiakan ibu dapat tercapai. Aku tidak ingin melihat ibu menangis lagi, aku tidak ingin melihatnya berjuang ke sana kemari hanya demi sesuap nasi, aku hanya ingin melihatnya tersenyum bahagia tanpa beban berat yang harus diemban.

“Yess,” ucapku dengan penuh semangat, sambil mengepalkan tinjuku layaknya seorang striker sepak bola yang baru saja melesakkan gol pertamanya, setelah aku memasangkan kancing terakhir baju koko ini. Ini adalah satu-satunya baju terbaikku yang dibeli oleh ibu saat Ramadhan tahun lalu. Malam ini adalah malam ke sepuluh Ramadhan dan aku tidak mau kalah rapi dengan teman-teman tadarusku.

Setelah penampilanku sempurna dengan peci di kepala, sarung menggantung rendah dan baju koko memperindah pesona wajah, aku langsung menuju di mana ibuku berada. Lima belas menit lagi berbuka. Aku sudah tidak sabar ingin menikmati hidangan spesial buatan ibuku. Namun belum juga aku sampai dapur, aku melihat ibu dari balik rongga-rongga pintu yang sudah rapuh, pintu pemisah antara ruang tamu dan dapur, sedang duduk. Ibu terlihat sangat lelah.

Ntah mengapa tiba-tiba tubuhku terasa lemah. Degup jantung semakin cepat. Persendianku kaku. Payah. Sudah kupaksa. Tetap saja kalah. Air mata ibu benar-benar membuatku takut. Ada apa? Sudah sekian kalinya ibu menangis. Aku kasihan melihat ibu. Mulai saat ini aku harus bisa membahagiakan ibu.

Sejuta rasa sedang bergemuruh di hatiku. Sedih, gelisah, bingung, semua bersatu. Namun aku berusaha untuk tetap tenang, berpikir positif, bahwa tidak sedang terjadi apa-apa pada ibu. Semoga ibu hanya sakit gigi. Semoga ibu hanya kelilipan. Semoga ibu hanya…semoga ibu tidak apa-apa…semoga…

“Ibuuuuu,” teriakku kencang sambil membuka pintu dan berlari menuju tempat duduknya. Kupeluk ibuku erat-erat.

“Bu, Ibu kenapa? Kok menangis? Ibu sehat kan?” tanyaku pelan, berharap ibuku baik-baik saja.

“Ia Rif, ibu baik-baik saja,” jawab ibu lirih.


“Tubuh ibu gemetar, mengapa?” ucapku dalam hati. Semakin lama ibu memelukku semakin erat.

Suasana hatiku semakin tak karuan. Tidak biasanya ibu seperti ini. Ibu terus mendekapku seolah ia akan berpisah denganku, seolah ia ingin pergi jauh dariku.

“Mungkinkah? Mungkinkah ibu akan pergi meninggalkanku? Mungkinkah ini Ramadhan Terakhir Ibuku? Ya Allah, semoga Engkau tidak mengambil ibuku secepat ini. Aku ingin sekali membahagiakannya,” aku terus bergumam dalam hati. Rasanya aku tak ingin lepas dari pelukan ibuku.

Perlahan ibu menarik tangannya dari pundakku, “Alhamdulillah,” syukurku dalam hati. Kini ibu sudah tenang, wajahnya cerah, senyumnya merekah, walaupun butir-butir air mata masih membasahi pipinya, ibuku terlihat sangat cantik. Apalagi dengan kerudung berwarna putih yang menjuntai panjang menutupi rambut sampai sepertiga tubuhnya, dengan rok lebar panjang menutupi setengah badan hingga batas bawah mata kaki ibuku, dengan kaus kaki dan manset yang menutupi kaki dan pergelangan tangannya, ditambah lagi dengan lesung pipi yang merekah saat ibu menunjukkan senyum lima centinya, ibuku benar-benar terlihat seperti bidadari surga.

“Arif…sekarang arif batalin puasanya ya, tuh adzannya sudah berkumandang,” bujuk ibuku sambil memandang wajah dan memegang kedua pipiku.

“(Tanpa bersuara, aku mengangguk mengiyakan perkataan ibu)”

Bergegas aku pergi ke meja kecil yang ada di dapur. Ku teguk sedikit air mineral serta segelas cendol kesukaanku yang sedari tadi telah dipersiapkan ibu khusus buatku.

”Alhamdulillah. Lega. Semoga puasaku hari ini diterima oleh-Nya. Aamiin,” ucapku dalam hati.

Sebelum pergi ke masjid, kulihat ibu membawa sesuatu berbungkus plastik hitam menuju ke arahku.

“Arif, ini makanan buat jamaah yang tadarus malam ini ya,” kata ibu sambil memberikan plastik itu padaku. Pelan-pelan ku berusaha melihat isinya. Beberapa potong roti dan buah jeruk rupanya.

“Astaghfirullah,” aku bergumam dalam hati, “dari mana ibu mendapatkan makanan ini? Padahal tadi siang ibu bilang bahwa hari ini tidak mendapatkan uang. Uang yang digunakan untuk menyediakan hidangan berbuka hari inipun adalah uang terakhir dari upah menyuci beberapa hari yang lalu. Ya Allah, betapa mulianya hati ibu. Mungkin ini yang membuat ibu menangis. Mungkin ibu telah mengorbankan sesuatu yang berharga untuk membeli makanan ini. Atau mungkiiin? Ah ya sudahlah, apapun itu aku harus tetap berpikir positif, semoga saja ini adalah rezeki yang diturunkan Allah dari langit untuk ibuku.

“Baik bu, Arif akan berikan makanan ini kepada pak Yadi, semoga temen-temen Arif dan jamaah yang lain suka dengan makanan ini,” ucapku sambil tersenyum pada ibu.

“Aamiin,” jawab ibu sambil membalas senyumku.

Kini ibu mengambil posisi setengah duduk, berusaha mengimbangi ketinggianku. Ibu kembali memegang pipiku. Kulihat mata ibu berkaca-kaca. Aku benar-benar tidak tahu apa yang sedang terjadi pada ibu hari ini. Ibu membuatku semakin takut sebab tidak biasanya ibu seperti ini.

“Arif,” dengan mata yang masih berkaca-kaca ibu memulai kata-katanya, “kamu hati-hati ya nak, jangan nakal di masjid, jadilah dewasa, jangan pernah putus asa dan menyusahkan siapapun sebab ada Allah yang senantiasa menolong kita. Apapun yang terjadi, memohonlah hanya kepada Allah. Maafkan ibu ya Arif, ibu belum bisa membahagiakanmu, ibu akan selalu berdoa agar Arif menjadi orang yang berguna.”

Kupeluk ibuku erat-erat, “Iaa Ibu, maafkan Arif juga ya bu, Arif janji akan selalu membahagiakan ibu,” jawabku agak terbata-bata sambil berusaha menahan air mata sudah membanjiri pipiku.

“Yasudah sekarang berangkat ke masjid gih, ntar telat shalat maghribnya,” ucap ibu sambil tersenyum.

“Ia bu, Arif pergi ya bu, Assalamu’alaikum,” jawabku singkat. Kemudian bergegas pergi menuju masjid sambil menenteng plastik hitam yang berisi roti dan jeruk.

“Wa’alaikumsalam Wr. Wb,” balas ibuku cepat.

Namun belum ada sepuluh meter aku melangkah, ibu kembali memanggilku, kali ini dengan sebutan yang berbeda, sebutan yang jarang sekali kudengar dari ibu.

“Hasan,” panggil ibuku sambil menunjukkan senyum terbaiknya.

Aku hanya membalikkan wajah dan membalas senyum ibu yang berdiri di depan pintu, lalu kembali meneruskan langkah. Perasaan cemas dan khawatir semakin bergemuruh di hatiku. Hari ini ibu sangat berbeda. Aku takut terjadi sesuatu pada ibu.

Malam itu aku benar-benar kehilangan semangat, hampir seluruh teman tadarusku bertanya-tanya, mereka cemas terhadap kondisiku.

“Alhamdulillah,” gumamku dalam hati, “tadarus malam ini selesai juga, aku harus segera pulang, ibu pasti sudah menungguku di rumah”.

Jarak antara rumahku dengan masjid sekitar 300 meter. Nafasku masih belum teratur. Rasanya malam ini aku adalah pelari tercepat di dunia. Tidak sampai satu menit aku telah sampai di depan pintu rumahku. Ku ketuk pintu. Ku ucap salam. Berkali-kali. Tetap saja. Tak ada jawaban. Degup jantungku semakin cepat. Takut. Tanpa izin, ku dorong pintu yang belum terkunci. Bergegas menuju kamar. “Alhamdulillah,” batinku. Ternyata ibu baik-baik saja. Kuperhatikan wajah ibu yang sedang tertidur. Agak tersenyum namun pulas sekali. Sepertinya ibu sangat kelelahan hari ini. Tanpa pikir panjang, kurebahkan juga tubuhku di atas tempat tidur. Berharap malam ini bermimpi indah dan besok pagi bisa sahur bersama ibu.

Malam ini terasa begitu cepat. Samar-samar ku dengar suara Adzan berkumandang. Aku duduk dan berusaha mengumpulkan nyawa yang masih berserakan. Ku lihat jam dinding. Pukul 04.55 WIB. Spontan aku bangkit dari tempat tidurku. “Sudah subuh, mengapa ibu tidak membangunkanku?” ucapku pelan sedikit kecewa sambil menuju kamar ibu. Ku lihat ibu masih tidur. Posisi ibu masih sama saat tadi malam aku baru pulang dari masjid. Miring sebelah kanan. Secepat mungkin kuraih pundak ibu. Kucoba bangunkan, kodorong-dorong dan kini posisinya sudah terlentang. Nihil. Perasaanku makin tak karuan. Kuarahkan jariku ke hidung ibu. Tiba-tiba pandanganku jadi gelap, darahku membeku, tulangku kaku, aku jatuh tersungkur, air matapun tak lagi terbendung. Ibu sudah tidak benafas. Ibu telah tiada. “Ibuuuuuu…,” teriakku sejadi-jadinya. Aku telah kehilangan ibu. Satu-satunya orang yang sangat kusayangi. Ramadhan tahun ini menjadi Ramadhan Terakhir bagi Ibu.

***

Aku tidak punya siapa-siapa lagi. Hidupku sebatang kara. Sejak kepergian ibu, aku berjuang sendirian untuk memenuhi kebutuhanku, mulai kebutuhan sehari-hari sampai kebutuhan sekolah. Tak jarang aku harus menahan lapar sampai berhari-hari. Segala pekerjaan ku lakoni. Memungut barang bekas, menyuci piring di rumah makan bahkan aku pernah jadi buruh pabrik. Namun sesulit apapun hidupku, nasihat ibu selalu menguatkanku “Jangan pernah putus asa”. Alhamdulillah seluruh pendidikanku mampu kuselesaikan dengan baik dan hampir setiap tahun aku memperoleh beasiswa. Cita-citaku untuk berkeliling dunia telah tercapai. Sejak menjadi seorang wartawan di salah satu media terkemuka di Indonesia, aku sudah mengunjungi lebih dari 10 Negara dan kini aku berada di Kairo, Mesir.


Nama : Indri Yanti
Sekolah : SMK N 44 Jakarta.
Jurusan Administrasi Perkantoran.

Rabu, 25 April 2018

"Rumah Tanpa Jendela " Dongeng Utopia Masyarakat Borjuis







Dongeng Utopia Masyarakat Borjuis


         Tradisi film musikal yang awalnya dikembangkan Hollywood pernah disebut sebagai ‘ode bagi perkawinan’. Ini mengacu pada kecenderungan film-film musikal klasik tahun 1930-1960an yang berpaku pada narasi dua karakter yang beroposisi dalam hal gender, ras, agama, latar belakang, temperamen, dan sebagainya untuk kemudian ‘dipasangkan’. Tradisi oposisi biner ini, meski tidak secara harfiah berhubungan dengan perkawinan, juga digunakan oleh Rumah Tanpa Jendela.

       Rumah Tanpa Jendela, sebuah film musikal kanak-kanak yang diadaptasi dari cerpen karya Asma Nadia, mengambil model biner dari dongeng moral Mark Twain: The Prince and The Pauper. Sang pangeran adalah Aldo, seorang anak laki-laki dari keluarga kaya-raya dengan sindrom mental tak terjelaskan yang membuatnya mengalami ‘penolakan’ dari komunitasnya (anggota keluarga).

       Aldo mewakili ide paradoks keluarga borjuis yang pemenuhan kebutuhan fisiknya berlebihan, tapi jiwanya kering dan mengakibatkan dilema personal. Sementara si miskin adalah Rara, gadis cilik yang sesekali bekerja sebagai ojek payung di sanggar lukis tempat Aldo belajar. Rara tinggal bersama neneknya (Simbok, diperankan Inggrid Widjanarko) dan ayahnya (diperankan secara tidak meyakinkan oleh aktor yang terlalu muda, Raffi Ahmad) di pemukiman kumuh dengan rumah-rumah yang dibangun dari kombinasi seng-triplek-kayu bekas tanpa jendela. Mudah ditebak, kondisi ini membuat Rara terobsesi untuk memiliki rumah dengan jendela. Sebuah impian yang harus ia bayar mahal di kemudian hari.

     Mengikuti tradisi opposite attracks, Aldo dan Rara bertemu dan bersahabat lewat peristiwa accidentally on purpose (strategi naratif yang banyak dikembangkan film-film Indonesia, yaitu rangkaian ‘kecelakaan’ atau ‘kebetulan’ yang sulit dipercaya demi mendorong alur cerita). Namun, pertemuan Aldo dan Rara tentu tak hanya soal pertemuan antar individu, tetapi juga pertemuan dua kutub latar belakang ekonomi yang diwakili oleh keluarga Aldo dan teman-teman Rara: antara si miskin dan si kaya. Pertemuan ini, bisa diduga, tak berjalan mulus. Ibu dan kakak perempuan Aldo menganggap teman-teman baru Aldo yang meng-‘invasi’ rumah mereka sebagai perusak dekorasi rumah tangga dan status sosial. Sementara kemewahan rumah Aldo dengan banyak jendela menularkan obsesi memiliki rumah berjendela di kalangan teman-teman Rara sesama penghuni pemukiman kumuh dan murid sekolah singgah (sekolah gratis bagi anak-anak jalanan/pemulung/miskin yang dikelola guru muda cantik berjilbab bernama Bu Alya).

       Tidak banyak yang disumbangkan oleh lagu-lagu yang dinyanyikan dan ditarikan dalam film ini kecuali penekanan dramatis belaka. Satu-satunya yang terwakili oleh scene-scene musikal dan gerak kamera serta editing yang kadang hiperaktif itu adalah energi dan semangat kanak-kanak. Namun, scene-scene musikal tersebut tak menambahkan lebih pada bangunan makna film (bentuk dan gaya) kecuali hanya sebagai penanda ‘kesahihan’-nya sebagai film musikal. Adegan musikal kebanyakan merupakan penampilan kolektif, jarang ada penampilan tunggal (solo). Penekanan pada kolektivitas ini salah satu ‘karateristik’ film musikal klasik Hollywood yang ingin menjual ide-ide soal komunitas dan stabilitas sosial, baik relasi inter-komunitas (konflik keluarga Aldo) maupun antar-komunitas (konflik antara keluarga Aldo dan komunitas Rara).

        Layaknya dongeng kanak-kanak majalah Bobo, film Rumah Tanpa Jendela menyampaikan ajaran moral pada anak-anak untuk menghadapi realita sosial dalam masyarakat yang terfragmentasi dalam perbedaan, baik secara struktur sosial-ekonomi maupun kondisi fisik/ mental. Fungsi ideologis yang ditawarkan film musikal adalah resolusi dari ketakutan akan perbedaan yang diwakili oposisi biner dalam naratif. Namun, permasalahan dari film musikal anak-anak adalah bahwa ia menawarkan resolusi yang dibayangkan oleh pembuat film agar bisa dipahami oleh anak-anak. Hal ini hanya dimungkinkan dengan melakukan penyederhanaan.

         Penyederhanaan posisi biner si miskin dan si kaya terwakili oleh narasi sosial-ekonomi Aldo dan Rara. Aldo, si kaya, memiliki berbagai privilege (mobil mewah, rumah mewah, supir, pembantu, sekolah khusus). Sementara Rara mewakili narasi kemiskinan dalam segala keterbatasan materialnya: rumah tanpa jendela, sekolah seadanya, kerja sampingan. Maka, perbedaan si miskin dan si kaya dalam film ini adalah ia yang berpunya dan ia yang tak-berpunya.

      Meskipun aspek kemiskinan tampil secara satu dimensi, film ini tidak melakukan sterilisasi berlebihan layaknya film-film Indonesia kebanyakan yang menggambarkan kemiskinan. Hal ini didukung oleh penggambaran keluarga baik-baik dan protektif yang cukup meyakinkan sebagai alasan pergaulan Rara yang steril dari eksploitasi (prostitusi, mengemis) maupun perilaku destruktif (nge-lem, narkoba, rokok, mencuri/menodong) yang merupakan bagian dari kehidupan masyarakat miskin di belahan dunia manapun. Lagipula, memakai perspektif realisme sosial dalam menilai film musikal adalah sia-sia mengingat film musikal sendiri menawarkan utopia dalam bentuk hiburan dengan mengacu pada diri sendiri (self-reference). Dalam hal ini, film musikal mengamini konsep ‘film yang menghibur’ sebagai utopia itu sendiri. Namun, pertanyaannya adalah utopia menurut siapa?

        Dalam operasi pengajaran moral, selalu ada kesimpulan/ resolusi yang mengacu pada sikap moral yang disarankan. Dalam film Rumah Tanpa Jendela, sikap itu adalah bersyukur (dalam konteks non-relijius, lebih mengarah pada suatu kondisi penerimaan atau nrimo dalam bahasa Jawa). Rara, si miskin menginginkan yang tak mungkin menjadi miliknya, yaitu kemewahan berupa rumah berjendela. Aldo memungkinkan Rara mengakses ini dan bahkan yang lebih lagi: kolam renang, mobil, buku dan krayon. Namun, keinginan Rara itu dimaknai sebagai kerakusan ketika ia ‘dihukum’ lewat kompensasi yang harus ia bayar. Logika pemaknaan tersebut bekerja ketika Rara yang larut dalam kesenangan borjuis (pesta ulang tahun kakak Aldo) pulang untuk menemukan rumahnya habis terbakar, Simbok tergeletak koma, dan ayahnya meninggal dunia. Keinginan Rara untuk memiliki sesuatu, alih-alih dimaknai sebagai hasrat kepemilikan yang lumrah dimiliki semua orang, justru dianggap sebagai sesuatu yang menyalahi/mengingkari takdirnya sebagai yang tak-berpunya.

          Lebih parah lagi, kemalangan Rara tersebut digunakan sebagai pelajaran yang bisa dipetik bagi keluarga Aldo, bahwa mereka harus bersyukur atas semua yang mereka punya (harta dan keluarga yang utuh) sementara ada orang-orang yang tak-berpunya seperti Rara. Maka, untuk ‘membayar’ pelajaran yang mereka dapat ini, keluarga Aldo menolong Rara dan simboknya dengan membayarkan biaya rumah sakit serta memberikan penghidupan di villa milik mereka di luar Jakarta. Dengan begitu, mereka melakukan kewajiban membalas budi tanpa perlu mengorbankan kenyamanan dengan berbagi kepemilikan ataupun terlibat secara dekat.

       Dari sini bisa disimpulkan bahwa film Rumah Tanpa Jendela memungkinkan kita bicara mengenai posisi biner kelas sosial-ekonomi lewat model film musikal klasik Hollywoodian. Film ini menawarkan model utopia dalam merespon kondisi masyarakat Indonesia yang terfragmentasi dalam kelas-kelas sosial-ekonomi. Yaitu, utopia atau kondisi hidup ideal yang dibayangkan oleh kelas menengah atas.

           Dalam model utopia ini, anak-anak menjadi penanda dari kelahiran (birth) atau takdir manusia. Permasalahan yang dimiliki anak-anak ini diperlihatkan sebagai sesuatu yang taken-for-granted atau bersifat takdir, dengan lebih menekankan cara menghadapi permasalahan alih-alih mempertanyakan penyebabnya. Hal ini paling tampak dalam posisi biner permasalahan Aldo dan Rara. Disability Aldo yang mewakili aspek natural takdir disandingkan dengan kemiskinan Rara, sehingga membuat kemiskinan ter-naturalisasi lewat logika pemahaman yang sama. Alih-alih hasil dari ketidakadilan distribusi kekayaan yang didukung negara, film ini menggambarkan kemiskinan sebagai bagian dari takdir manusia.

          Jendela dalam film Rumah Tanpa Jendela kemudian menjadi sebuah metafora yang mengena. Jendela memungkinkan seseorang meng-akses dunia lain (dalam/ luar) tanpa meninggalkan tempatnya. Jendela memungkinkan orang melihat, bukan terlibat (dibandingkan pintu yang menyediakan akses untuk masuk/ keluar). ‘Jendela’ itu adalah rasa syukur atau konsep penerimaan atas suatu kondisi. Dengan si miskin berlapang-dada menerima kondisinya dan si kaya belajar bersyukur dari kemalangan si miskin, maka masyarakat borjuis yang sempurna dan harmonis akan tercipta.

           Dongeng semacam inilah yang ditawarkan Rumah Tanpa Jendela pada penonton yang mereka sasar, tak lain tentu anak-anak kelas menengah atas yang mampu meng-akses bioskop sebagai bagian dari leisure activity. Sebuah dongeng untuk membuai mereka dalam mimpi-mimpi borjuis, agar mereka nanti terbangun sebagai manusia-manusia borjuis dewasa yang diharapkan bisa meneruskan tatanan masyarakat dimana kemiskinan dan kekayaan ter-naturalisasi sebagai takdir dan karenanya tak perlu dipertanyakan. Karena hanya dalam kondisi itulah si kaya termungkinkan ada dan bisa melanjutkan upaya memperkaya diri mereka; dengan membiarkan kemiskinan ada dan ‘tak tampak’ di depan mata.


         Penggambaran kemiskinan dalam film tersebut tidak berebihan. film tersebut menggambarkan keuarga baik-baik dan protektif untuk menyakinkan bahwa pergauan Rara terbebas dari eksploitasi maupun perilaku destruktif yang merupakan bagian dari kehidupan masyarakat miskin di belahan dunia manapun. Lagipula, memakai perspektif realisme sosial dalam menilai film musikal. Sendiri menawarkan utopia dalam bentuk hiburan dengan mengacu pada diri sendiri. Dalam hal ini film musikal mengamini konsep "film yang menghibur".

            Dari paparan tadi dapat disimpulkam bahwa film "Rumah Tanpa Jendela" memungkinkan kita bicara mengenai posisi biner kelas sosial-ekonomi lewat model film musikal klasik ala Hollywood. Film ini menawarkan model utopia daam merespon kondisi masayarakat Indonesia yang terfragmentasi dalam kelas-kelas sosial-ekonomi, yaitu utopia atau kondisi hidup ideal yang dibayangkan oleh kelas menegah atas.



  1. Genre Film yang ditawarkan dalam film "Rumah Tanpa Jendea" itu adalah film musika. Dinegara mana film tersebut dikembangakan?
  2. Apa yang menjadi inspirasi dalam pembuatan film tersebut?
  3. Siapa tokoj utama daam film "Rumah Tanpa Jendela"?
  4. Apa yang diinginkan oleh Rara?
  5.  Apa yang diinginkan oleh Aldo?
  6. Simbol apa yang tersirat dari persahabatan Aldo-Rara?
  7. Apa istilah untuk menunjukan dua sisi yang bersebrangan dalam teks ulasan tersebut.
  8. Peristiwa apa yang dialami oleh Rara?
  9. Simbol apa yang tersirat dalam peristiwa atau cerita tersebut?
  10. Pesan moral apa yang terdapat dalam teks ulasan itu




Senin, 07 Agustus 2017

BAHASA SECARA UMUM

Bahasa adalah alat komunikasi yang digunakan manusia dengan sesama anggota masyarakat lain pemakaian bahasan itu. Bahasa berisi gagasan, ide, pikiran, keinginan, atau perasaan yang ada pada diri si pembicara. Agar apa yang dipikirkan, diinginkan, atau dirasakannya dapat diterima oleh pendengar atau orang yang diajak bicara, hendaklah bahasa yang digunakan harus baik dan benar.
Bahasa yang baik dan benar haruslah memenuhi persyaratan gramatikal. Artinya disusun berdasarkan kaidah-kaidah yang berlaku. Kaidah-kaidah bahasa yang berlaku seperti penggunaan ejaan yang disempurnakan, dan pemakaian diksi yang tepat. Jika berbicara bahasa maka secara langsung kita akan membicarakan kalimat.
Kalimat yang baik haruslah berdasarkan kaidah-kaidah yang berlaku seperti memiliki subjek dan predikat, penggunaan ejaan yang disempurnakan, dan pemilihan diksi yang tepat dalam sebuah kalimat. Kalimat yang memiliki kaidah-kaidah tersebut jelas akan mudah dipahami oleh pembaca atau pendengar. Kalimat yang demikian akan disebut dengan kalimat efektif. Kalimat efektif mampu membuat proses penyampaian dan penerimaan berlangsung dengan sempurna.
Kalimat yang efektif adalah kalimat yang menggunakan bahasa yang baik dan benar serta penggunaan bahasa baku yang tepat. Banyak terdapat tulisan-tulisan di media cetak (Koran) yang kurang memenuhi kaidah-kaidah kalimat efektif. Masih ada Koran-koran yang memuat atau menulis artikel krang tepat antara lain menggunakan bahasa yang tidak baku, menggunakan diksi yang kurang tepat, dan penulisan huruf kapital yang masih salah.
Penulisan kalimat yang efektif dan benar sangat memengaruhi kualitas dari tulisan yang dibuat. Seorang penulis yang baik maka akan menggunakan kaidah-kaidah penulisan kalimat yang efektif dan benar. Tulisan yang baik juga harus mengandung kaidah-kaidah kalimat efektif dan benar. Kalimat yang baik juga harus mudah dimengerti oleh pembacanya.



(semoga bermanfaat, mf jika tulisan saya masih jauh dari kata sempurna)

Aspek Kebahasaan dan Fungsi Kebahasaan

Aspek Kebahasaan“Bahasa merupakan suatu sistem komunikasi yang mempergunakan simbol-simbol   (bunyi ujaran ) yang bersifat arbiter, yang dapat diperkuat dengan gerak-gerik badan yang nyata.Hal itu merupakan simbol, karena rangkaian bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia harus diberikan makna tertentu yang dapat di serap panca indra”. Fungsi KebahasaanFungsi bahasa dapat diturunkan dari dasar dan motif pertumhbuhan bahasa itu sendiri. Dasar dan motif pertumbuhan bahasa itu dalam garis besarnya dapat berupa:

a. untuk menyatakan ekspresi diri. 

b. Sebagai alat komunikasi.

c. sebagai alat untuk mengadakan integrasi(pembaruan) dan adaptasi sosial.d. sebagai alat untuk mengadakan kontrol sosial. Kesimpulan

Kemahiran berbahasa bertujuan melancarkan komunikasi yang jelas dan teratur dengan semua anggota masyarakat. Memungkinkan terpeliharanya tata sosial, adat istiadat, kebiasaan dan sebagainya melalui pengkhususan dari fungsi komunikatif tadi. Jadi yang paling utama dari kemahiran berbahasa adalah pemakaian bahasa secara baik untuk kepentingan tiap individu dalam masyarakat, untuk kebaikan umat masyarakat itu sendiri.Kemahiran berbahasa akan sangat baik berperan dalam kehidupan masyarakat jika diimbangi dengan moral yang baik.


semoga bermanfaat mohon maaf jika masih belum semprna.

Kamis, 08 Mei 2014

Analisis Penulisan Kalimat





Salah
Benar
Ø  Begitu juga halnya stasiun-stasiun televisi dengan siaran-siarannya yang sangat nihil dengan siaran yang bernuansa islami.




=================================
Ø  Hal ini kurang lebih sama dengan arti informasi yang obyektif, kontrol, kritik yang konstruktif dalam UU pers.




================================

Ø  Ketiga penemuan ini yang menjadi motor mempercepat tumbuhnya gerakan renaisans, gerakan kelahiran kembali peradaban Eropa yang lahir sejak sekitar abad 14 Masehi yang kelak menjadi titik awal zaman modern di Eropa, maka jauh sebelumnya di zaman kerajaan Abbasiah (abad VIII dan  X-an).







=================================
Ø  Berdasarkan fakta sejarah, mungkin dapat dilukiskan betapa gemilang dan berperannya media massa Islam sebagai sarana meningkatkan pemahaman terhadap Islam dalam kehidupan manusia. Lewat media yang berupa buku-buku, majalah dan bahan lektural lainnya prodak masyarakat muslim.







================================
Ø  Tetapi secara operasional tentu sama.
   Begitupun stasiun-stasiun televisi yang memiliki siaran yang sangat nihil dengan siaran yang bernuansa islami.

Penjelasan : Dalam penulisan pada kalimat yang salah terlalu luas dalam memberikan sebuah pendapat.
================================
Ø  Hal ini berarti informasi yang bersifat objektif, kontrol, dan kritik yang konstruktif dalam Undang-Undang Pers.

Penjelasan  : Dalam penulisan kalimat yang salah masih kurang tanda baca,.
================================

Ø  Ketiga penemuan ini menjadi penggerak untuk memper cepat tumbuhnya gerakan renaisans dan gerakan kelahiran peradaban Eropa di abad 14 Masehi yang akan menjadi titik awal zaman modern di Eropa, maka jauh sebelumnya kerajaan Abbasiyah (abad 8 dan 10-an Masehi)

Penjelasan: Penulisan kalimat pada kolom yang salah, masih belum sepadan banyak kata-kata yang tidak tepat dan penulisan keterangan tahun pun kurang tepat jika mengggunakan angka romawi.

================================
Ø  Berdasarkan fakta sejarah, dapat dilihat gemilang dan perannya media massa Islam sebagai sarana meningkatkan pemahaman Islam dalam kehidupan manusia, lewat media yang berupa buku-buku, majalah dan bahan lektural lainnya produk masyarakat Muslim.

Penjelasan: Dalam penulisan kalimat pada kolom sebelah kiri kalimat tersebut masih tidak dapat meyakinkan pembaca meskipun sudah mendapatkan sebuah fakta “ Berdasarkan fakta sejarah, mungkin dapat dilukiskan betapa gemilang”

===============================
Ø  Tetapi secara operasional tentu memiliki kesamaan.

Penjelasan : Kalimat pada kolom salah penulisan kalimatnya  masih tidak sesuai dalam penggunaa diksi.



Analisis Penulisan Kata
Salah
Benar



Analisisn Penulisan Diksi
Salah
Benar
Ø  Allahswt
Ø  Alquran
Ø  Sholat
Ø  Jikalau
Ø  Allah SWT
Ø  Al-Qur’an
Ø  Salat
Ø  Jika/kalau


Latihan Analisis Teks Negosisasi Kelas X

Santo: “Halo, Pak” Penjual: “Halo, ada yang bisa saya bantu?” Salman: “Pak, berapa harga sepeda motornya?” Penjual: “Harganya Rp...