Kamis, 07 Juni 2018

RAMADHAN TERAKHIR UNTUK IBU (Cerpen)


Hujan deras ini benar-benar membuka seluruh memori lamaku bersama sesosok wanita yang sejak tujuh belas tahun lalu tiada. Hujan sore ini mampu melelehkan kerasnya hati yang selama ini lupa bahwa dalam diriku mengalir darah pahlawan tanpa tanda jasa, pahlawan yang kasihnya sepanjang masa dan pahlawan yang cintanya terang, seterang sang surya yang ikhlas menyinari dunia. Hujan sore ini benar-benar membawa ingatanku jauh ke belakang. Mengenang gelora perjuangannya yang tak pernah padam. IBU.

***

“Bu….Ibu, Ibu di mana?” teriakku.

“ia Rif, ibu di dapur, ada apa?” jawab ibu sembari masak sayur kacang kesukaanku untuk berbuka puasa.

Arif Hasan adalah nama lengkapku. Ibu sering memanggilku Arif, namun sesekali ia memanggilku Hasan. Ntahlah, ntah mengapa ibu jarang sekali memanggilku dengan sebutan Hasan, padahal seluruh tetangga dan teman-temanku sangat akrab memanggilku dengan sebutan Hasan. Sering aku bertanya akan hal ini pada Ibu, namun jawaban ibu selalu sama “Ibu ingin melihatmu menjadi orang yang bijaksana dan berlaku arif pada semua orang”. Itulah jawabnya. Tak berubah. Bahkan pada saat terakhirnya di dunia, pertanyaanku belum juga terjawab, saat itu ia hanya memanggilku “Hasan” dan itulah kata terakhir yang kudengar dari ibu.

Sebagai anak satu-satunya aku sangat disayang ibu. Namun aku sering merasa sedih sebab aku tidak pernah melihat ayahku, ayah telah meninggalkan kami –aku dan ibu– ketika aku masih dalam kandungan. Hanya foto hitam putih yang hampir usang berukuran 6×8 cm yang selalu menjadi pengobat rinduku pada ayah.

“Ini bu, anu, emm..,” jawabku tersendat-sendat sambil mengatur nafasku yang belum stabil setelah lari marathon dari rumah pak Yadi, guru mengaji sekaligus imam masjid di kampungku.

“Ada apa rif? Kok ona anu, ona anu gitu?” Tanya ibu keheranan.

“Begini bu, tadi Arif bertemu dengan pak Yadi, beliau bilang malam ini adalah giliran kita menyediakan makanan buat jamaah yang membaca Al Qur’an (tadarus) di Masjid,” jawabku semangat.

Seperti biasa, setiap bulan Ramadhan, di Masjid Al-Amin di kampungku, baik anak-anak, remaja maupun ibu-ibu, semuanya membaca Al-Qur’an. Rutin setiap malam. Semangat mereka sangat luar biasa untuk memperbanyak ibadah di bulan yang paling suci ini, berlomba-lomba mengkhatamkan Al-Qur’an. Sehingga akupun ikut terhanyut oleh euforia ibadah yang pasti berhadiah surga.

“Astaghfirullah, ibu lupa nak,” jawab ibu gemetar.

Kulihat mata ibu, aku tahu, rasa bersalah, penyesalan dan sedih sedang bergemuruh di hati ibu. Ku coba untuk tenang, pura-pura tidak tau apa yang sedang terjadi.

“Ada apa bu?” jawabku cepat.

“Nggak…nggak ada apa-apa kok, yasudah sekarang kamu mandi ya,  ibu sudah siapkan minuman dan makanan kesukaanmu untuk berbuka puasa,” jawab ibu seolah mengalihkan pembicaraan.

“Ia, ibukk. Siap,” jawabku kegirangan sambil menghormati pada ibu, layaknya seorang polisi sedang melapor pada komandannya.

Secepat kilat kulaju kakiku menuju kamar mandi, aku sudah tidak sabar ingin segera menikmati lezatnya masakan ibuku yang tiada tandingannya, walau dengan sajian hotel berbintang-bintang sekalipun.

Ramadhan kali ini memang sangat berbeda dengan bulan-bulan Ramadhan sebelumnya. Ramadhan kali ini aku duduk di kelas I SMP. Sudah saatnya aku harus menjadi dewasa, sebab aku harus mampu menjaga dan membatu ibuku mencari nafkah. Sampai saat ini ibu belum memiliki pekerjaan tetap. Sejak ditinggal oleh ayah, ibuku selalu bekerja sendirian siang dan malam. Kerjanya serabutan. Terkadang ibu harus sprint dari satu rumah ke rumah lain untuk mencuci pakaian, ibu juga pernah memungut barang-barang bekas dari tempat sampah hanya demi membahagiakan diriku. Sehingga tak jarang ibuku berlinangan air mata sebab seharian tidak mendapatkan uang. Ibu juga sering harus menahan lapar demi diriku, namun ia tak pernah putus asa untuk membahagiakan dan menyekolahkanku.

Aku tau bahwa ibu ingin sekali melihatku menjadi orang sukses dan berguna. Semangat itulah yang membuatku selalu tegar dan yakin walaupun keadaan tak mendukung, walaupun hari-hari terasa sangat sulit bagiku, walau tidak sedikit yang meremehkanku. Aku ingin suatu hari nanti bisa berkeliling dunia, khususnya aku ingin menginjakkan kaki di negeri seribu menara itu, negeri peradaban dan negeri para syuhada. Satu lagi, aku ingin sekali membawa ibuku ke mekah.

Ini adalah bulan Ramadhan. Ibu pernah bilang bahwa bulan ini adalah bulan penuh hikmah, bulan penuh ampunan dan bulan dikabulkannya doa bagi siapapun yang tulus meminta. Inilah kesempatan bagiku untuk senantiasa memohon pada Allah SWT agar semua cita-cita dan keinginanku untuk membahagiakan ibu dapat tercapai. Aku tidak ingin melihat ibu menangis lagi, aku tidak ingin melihatnya berjuang ke sana kemari hanya demi sesuap nasi, aku hanya ingin melihatnya tersenyum bahagia tanpa beban berat yang harus diemban.

“Yess,” ucapku dengan penuh semangat, sambil mengepalkan tinjuku layaknya seorang striker sepak bola yang baru saja melesakkan gol pertamanya, setelah aku memasangkan kancing terakhir baju koko ini. Ini adalah satu-satunya baju terbaikku yang dibeli oleh ibu saat Ramadhan tahun lalu. Malam ini adalah malam ke sepuluh Ramadhan dan aku tidak mau kalah rapi dengan teman-teman tadarusku.

Setelah penampilanku sempurna dengan peci di kepala, sarung menggantung rendah dan baju koko memperindah pesona wajah, aku langsung menuju di mana ibuku berada. Lima belas menit lagi berbuka. Aku sudah tidak sabar ingin menikmati hidangan spesial buatan ibuku. Namun belum juga aku sampai dapur, aku melihat ibu dari balik rongga-rongga pintu yang sudah rapuh, pintu pemisah antara ruang tamu dan dapur, sedang duduk. Ibu terlihat sangat lelah.

Ntah mengapa tiba-tiba tubuhku terasa lemah. Degup jantung semakin cepat. Persendianku kaku. Payah. Sudah kupaksa. Tetap saja kalah. Air mata ibu benar-benar membuatku takut. Ada apa? Sudah sekian kalinya ibu menangis. Aku kasihan melihat ibu. Mulai saat ini aku harus bisa membahagiakan ibu.

Sejuta rasa sedang bergemuruh di hatiku. Sedih, gelisah, bingung, semua bersatu. Namun aku berusaha untuk tetap tenang, berpikir positif, bahwa tidak sedang terjadi apa-apa pada ibu. Semoga ibu hanya sakit gigi. Semoga ibu hanya kelilipan. Semoga ibu hanya…semoga ibu tidak apa-apa…semoga…

“Ibuuuuu,” teriakku kencang sambil membuka pintu dan berlari menuju tempat duduknya. Kupeluk ibuku erat-erat.

“Bu, Ibu kenapa? Kok menangis? Ibu sehat kan?” tanyaku pelan, berharap ibuku baik-baik saja.

“Ia Rif, ibu baik-baik saja,” jawab ibu lirih.


“Tubuh ibu gemetar, mengapa?” ucapku dalam hati. Semakin lama ibu memelukku semakin erat.

Suasana hatiku semakin tak karuan. Tidak biasanya ibu seperti ini. Ibu terus mendekapku seolah ia akan berpisah denganku, seolah ia ingin pergi jauh dariku.

“Mungkinkah? Mungkinkah ibu akan pergi meninggalkanku? Mungkinkah ini Ramadhan Terakhir Ibuku? Ya Allah, semoga Engkau tidak mengambil ibuku secepat ini. Aku ingin sekali membahagiakannya,” aku terus bergumam dalam hati. Rasanya aku tak ingin lepas dari pelukan ibuku.

Perlahan ibu menarik tangannya dari pundakku, “Alhamdulillah,” syukurku dalam hati. Kini ibu sudah tenang, wajahnya cerah, senyumnya merekah, walaupun butir-butir air mata masih membasahi pipinya, ibuku terlihat sangat cantik. Apalagi dengan kerudung berwarna putih yang menjuntai panjang menutupi rambut sampai sepertiga tubuhnya, dengan rok lebar panjang menutupi setengah badan hingga batas bawah mata kaki ibuku, dengan kaus kaki dan manset yang menutupi kaki dan pergelangan tangannya, ditambah lagi dengan lesung pipi yang merekah saat ibu menunjukkan senyum lima centinya, ibuku benar-benar terlihat seperti bidadari surga.

“Arif…sekarang arif batalin puasanya ya, tuh adzannya sudah berkumandang,” bujuk ibuku sambil memandang wajah dan memegang kedua pipiku.

“(Tanpa bersuara, aku mengangguk mengiyakan perkataan ibu)”

Bergegas aku pergi ke meja kecil yang ada di dapur. Ku teguk sedikit air mineral serta segelas cendol kesukaanku yang sedari tadi telah dipersiapkan ibu khusus buatku.

”Alhamdulillah. Lega. Semoga puasaku hari ini diterima oleh-Nya. Aamiin,” ucapku dalam hati.

Sebelum pergi ke masjid, kulihat ibu membawa sesuatu berbungkus plastik hitam menuju ke arahku.

“Arif, ini makanan buat jamaah yang tadarus malam ini ya,” kata ibu sambil memberikan plastik itu padaku. Pelan-pelan ku berusaha melihat isinya. Beberapa potong roti dan buah jeruk rupanya.

“Astaghfirullah,” aku bergumam dalam hati, “dari mana ibu mendapatkan makanan ini? Padahal tadi siang ibu bilang bahwa hari ini tidak mendapatkan uang. Uang yang digunakan untuk menyediakan hidangan berbuka hari inipun adalah uang terakhir dari upah menyuci beberapa hari yang lalu. Ya Allah, betapa mulianya hati ibu. Mungkin ini yang membuat ibu menangis. Mungkin ibu telah mengorbankan sesuatu yang berharga untuk membeli makanan ini. Atau mungkiiin? Ah ya sudahlah, apapun itu aku harus tetap berpikir positif, semoga saja ini adalah rezeki yang diturunkan Allah dari langit untuk ibuku.

“Baik bu, Arif akan berikan makanan ini kepada pak Yadi, semoga temen-temen Arif dan jamaah yang lain suka dengan makanan ini,” ucapku sambil tersenyum pada ibu.

“Aamiin,” jawab ibu sambil membalas senyumku.

Kini ibu mengambil posisi setengah duduk, berusaha mengimbangi ketinggianku. Ibu kembali memegang pipiku. Kulihat mata ibu berkaca-kaca. Aku benar-benar tidak tahu apa yang sedang terjadi pada ibu hari ini. Ibu membuatku semakin takut sebab tidak biasanya ibu seperti ini.

“Arif,” dengan mata yang masih berkaca-kaca ibu memulai kata-katanya, “kamu hati-hati ya nak, jangan nakal di masjid, jadilah dewasa, jangan pernah putus asa dan menyusahkan siapapun sebab ada Allah yang senantiasa menolong kita. Apapun yang terjadi, memohonlah hanya kepada Allah. Maafkan ibu ya Arif, ibu belum bisa membahagiakanmu, ibu akan selalu berdoa agar Arif menjadi orang yang berguna.”

Kupeluk ibuku erat-erat, “Iaa Ibu, maafkan Arif juga ya bu, Arif janji akan selalu membahagiakan ibu,” jawabku agak terbata-bata sambil berusaha menahan air mata sudah membanjiri pipiku.

“Yasudah sekarang berangkat ke masjid gih, ntar telat shalat maghribnya,” ucap ibu sambil tersenyum.

“Ia bu, Arif pergi ya bu, Assalamu’alaikum,” jawabku singkat. Kemudian bergegas pergi menuju masjid sambil menenteng plastik hitam yang berisi roti dan jeruk.

“Wa’alaikumsalam Wr. Wb,” balas ibuku cepat.

Namun belum ada sepuluh meter aku melangkah, ibu kembali memanggilku, kali ini dengan sebutan yang berbeda, sebutan yang jarang sekali kudengar dari ibu.

“Hasan,” panggil ibuku sambil menunjukkan senyum terbaiknya.

Aku hanya membalikkan wajah dan membalas senyum ibu yang berdiri di depan pintu, lalu kembali meneruskan langkah. Perasaan cemas dan khawatir semakin bergemuruh di hatiku. Hari ini ibu sangat berbeda. Aku takut terjadi sesuatu pada ibu.

Malam itu aku benar-benar kehilangan semangat, hampir seluruh teman tadarusku bertanya-tanya, mereka cemas terhadap kondisiku.

“Alhamdulillah,” gumamku dalam hati, “tadarus malam ini selesai juga, aku harus segera pulang, ibu pasti sudah menungguku di rumah”.

Jarak antara rumahku dengan masjid sekitar 300 meter. Nafasku masih belum teratur. Rasanya malam ini aku adalah pelari tercepat di dunia. Tidak sampai satu menit aku telah sampai di depan pintu rumahku. Ku ketuk pintu. Ku ucap salam. Berkali-kali. Tetap saja. Tak ada jawaban. Degup jantungku semakin cepat. Takut. Tanpa izin, ku dorong pintu yang belum terkunci. Bergegas menuju kamar. “Alhamdulillah,” batinku. Ternyata ibu baik-baik saja. Kuperhatikan wajah ibu yang sedang tertidur. Agak tersenyum namun pulas sekali. Sepertinya ibu sangat kelelahan hari ini. Tanpa pikir panjang, kurebahkan juga tubuhku di atas tempat tidur. Berharap malam ini bermimpi indah dan besok pagi bisa sahur bersama ibu.

Malam ini terasa begitu cepat. Samar-samar ku dengar suara Adzan berkumandang. Aku duduk dan berusaha mengumpulkan nyawa yang masih berserakan. Ku lihat jam dinding. Pukul 04.55 WIB. Spontan aku bangkit dari tempat tidurku. “Sudah subuh, mengapa ibu tidak membangunkanku?” ucapku pelan sedikit kecewa sambil menuju kamar ibu. Ku lihat ibu masih tidur. Posisi ibu masih sama saat tadi malam aku baru pulang dari masjid. Miring sebelah kanan. Secepat mungkin kuraih pundak ibu. Kucoba bangunkan, kodorong-dorong dan kini posisinya sudah terlentang. Nihil. Perasaanku makin tak karuan. Kuarahkan jariku ke hidung ibu. Tiba-tiba pandanganku jadi gelap, darahku membeku, tulangku kaku, aku jatuh tersungkur, air matapun tak lagi terbendung. Ibu sudah tidak benafas. Ibu telah tiada. “Ibuuuuuu…,” teriakku sejadi-jadinya. Aku telah kehilangan ibu. Satu-satunya orang yang sangat kusayangi. Ramadhan tahun ini menjadi Ramadhan Terakhir bagi Ibu.

***

Aku tidak punya siapa-siapa lagi. Hidupku sebatang kara. Sejak kepergian ibu, aku berjuang sendirian untuk memenuhi kebutuhanku, mulai kebutuhan sehari-hari sampai kebutuhan sekolah. Tak jarang aku harus menahan lapar sampai berhari-hari. Segala pekerjaan ku lakoni. Memungut barang bekas, menyuci piring di rumah makan bahkan aku pernah jadi buruh pabrik. Namun sesulit apapun hidupku, nasihat ibu selalu menguatkanku “Jangan pernah putus asa”. Alhamdulillah seluruh pendidikanku mampu kuselesaikan dengan baik dan hampir setiap tahun aku memperoleh beasiswa. Cita-citaku untuk berkeliling dunia telah tercapai. Sejak menjadi seorang wartawan di salah satu media terkemuka di Indonesia, aku sudah mengunjungi lebih dari 10 Negara dan kini aku berada di Kairo, Mesir.


Nama : Indri Yanti
Sekolah : SMK N 44 Jakarta.
Jurusan Administrasi Perkantoran.

Tarian Pena (Virginia C.C. Pomantow)

Sumber gambar cerpen : Buku Bahasa Indonesia