Minggu, 11 November 2018

GURINDAM 12 Karya Raja Ali Haji




Pasal I


Barang siapa mengenal yang empat,
maka dia itu lah orang ma' rifat.
Barang siapa mengenal  Allah,
suruh dan tegahnya tiada ia menyalah.
Barang siapa mengenal diri,
maka telah mengenal akan Tuhan Yang Bahari.
Barang siapa mengenal dunia,
tahulah dia barang yang terpedaya.
Barang siapa mengenal akhirat,
tahulah dia dunia melarat.

Pasal II

Apabila terpelihara mata,
sedikit cita-cita.
Apabila terpelihara kuping,
kabar yang jahat tidaklah damping.
Bersungguh-sungguh engkau memeliharakan,
tangan dari segala berat ringan.
Apabila perut terlalu penuh,
keluarlah fi'il yang tiada senonoh.
Hendaklah peliharakan kaki,
daripada berjalan yang membawa rugi.

Pasal III

Hati itu kerajaan di dalam tubuh,
jikalau zalim segala anggota pun rubuh.
Apabila dengki telah bertanah,
datanglah dari padanya beberapa anak panah.
Mengumpat dan memuji hendaklah pikir,
di situlah banyak orang tergelincir.
Pekerjaan marah jangan dibela,
nanti hilang akal di kepala.
Jika sedikit pun berbuat bohong,
boleh di umpamakan mulutnya pekong.

Pasal IV

Barang siapa mengenal yang tersebut,
tahulah ia makna takut.
Barang siapa meninggalkan sembahyang,
seperti rumah tidak bertiang.
Barang siapa meninggalkan puasa,
tidaklah dapat dua termasa.
Barang siapa meninggalkan zakat,
tidaklah hartanya beroleh berkat.
Barang siapa meninggalkan haji,
tidaklah ia menyempurnakan janji.

Pasal V

Jika hendak mengenal orang yang berbangsa,
lihat kepada budi dan bahasa.
Jika hendak mengenal orang yang berbahagia,
sangat memeliharakan yang sia-sia.
Jika hendak mengenal orang yang mulia,
lihatlah kepada kelakuan dia.
Jika hendak mengenal orang yang berakal,
di dalam dunia mengambil bekal.
Jika hendak mengenal orang yang baik perangai,
lihat kepada ketika bercampur dengan orang ramai.

Pasal VI

Cari olehmu akan sahabat,
yang boleh dijadikan obat.
Cari olehmu akan guru,
yang boleh tahukan tiap seteru.
Cari olehmu akan kawan,
pilih segala orang yang setiawan.
Cari olehmu akan abdi,
yang ada baik sedikit budi.

Pasal VII

Apabila banyak berkata-kata,
di situlah jalan masuk dusta.
Apabila banyak bersuka-suka,
itulah tanda hampir duka.
Apabila kita kurang siasat,
itulah tanda pekerjaan akan sesat.
Apabila anak tiada dilatih,
jika besar bapaknya letih.
Apabila banyak mencela orang,
itulah tanda dirinya kurang.

Pasal VIII

Barang siapa khianat kepada dirinya,
apa lagi kepada lainnya.
Kepada dirinya ia aniaya,
orang itu jangan kau percaya.
Lidah yang suka membenarkan dirinya,
daripada yang lain dapat kesalahannya.
Kejahatan diri sembunyikan,
kebaikan diri diamkan.
Keaiban orang jangan dibuka,
keaiban diri hendaklah sangka.

Pasal IX

Kejahatan seorang perempuan tua,
itulah iblis punya punggawa.
Kebanyakan orang muda-muda,
di situlah setan tempat tergoda.
Adapun orang tua yang hemat,
setan tak suka membuat sahabat.
Jika orang muda kuat berguru,
dengan setan jadi berseteru.

Pasal X

Dengan bapak jangan durhaka,
supaya Allah tidak murka.
Dengan ibu hendaklah hormat,
supaya badan dapat selamat.
Dengan anak janganlah alpa,
supaya malu jangan menimpa.
Dengan kawan hendaklah adil,
supaya tangan jadi kepil.

Pasal XI

Hendaklah berjasa
kepada yang sebangsa.
Hendak jadi kepala,
buang perangai yang cela.
Hendaklah memegang amanat,
buanglah khianat.
Hendaklah dimalui,
jangan melalui.
Hendak ramai,
murahkan perangai.

Pasal XII

Raja bermufakat dengan menteri,
seperti kebun berpagar duri.
Betul hati kepada raja,
tanda jadi sebarang kerja.
Hukum adil kepada rakyat,
tanda raja beroleh inayat.
Kasihan orang yang berilmu,
tanda rahmat atas dirimu.
Hormat akan orang yang pandai,
tanda mengenal kasa dan cindai.

Satukan Perbedaan Kita Junjung Kebersamaan

Judul: satukan perbedaan kita junjung kebersamaan.

Satu nusaku satu bangsaku
Indonesia...
Berbagai suku bangsa bernaung padamu
Beragam pernak pernik budaya menghiasmu
Tanah airku..

Hijau...
Sejauh mata memandang
Sejuk...
Ketika kulepas penatku
Namun bergetar jiwaku
Terkoyak hatiku
Tak kudapatkan kesejahteraan dan kedamaian

Dibalik gagahnya sang garuda
Ternyata banyak tikus tikus berdasi yang menggerogoti bangsaku
Orang pikir negeri ini sudah merdeka
Kau pikir siapa yang merdeka
Apakah pemimpin bangsa ini?
Atau para pejabat tinggi?
Oohh biar ku tebak
Mungkin tikus tikus berdasi itu

Bangsa ku ini kaya
Kaya akan budaya
Kayak akan hasil bumi
Dan yang terlihat nyata
Kita kaya akan orang orang yang tangguh tuk gapai sebuah perubahan

Wahai saudaraku..
Apakah bangsa ini layak dikatakan bangsa yang satu
Bangsa yang merdeka
Bangsa yang kuat
Kalau masih ada diantara kita
Yang saling menghina
Saling membakar
Dan saling membunuh saudara mereka sendiri
Dimana letak kebhinekaan kita
Dimanaaa dimanaaaa....

Wahai saudaraku..
Satu dua tiga bahkan empat pijar bintang tampak lah tak indah
Keindahan bintang didapatkan dari bersatunya bintang bintang malam

Wahai saudaraku...
Ingatlah kita satu
Indonesia...
Sang merah putih telah anggun berkibar
Bertanda kemerdekaan itu nyata

Wahai saudaraku...
Genggam erat saudaramu
Busungkan dadamu
Satukan tekadmu
Mari bersama kita berkata
Indonesia....
Satukan perbedaan kita junjung kebersamaan..

Karya
Rocky Fernandes
Kelas  X AK
SMKN 44 Jakarta
Juara 1 FLS2N DKI Jakarta tahun 2018


Kamis, 23 Agustus 2018

D’topeng Museum Angkut

D’topeng Museum Angkut
          D’topeng adalah salah satu tempat wisata yang terletak di Kota Batu, Jawa Timur. Keberadaan D’topeng tidak dapat dipisahkan dengan Museum Angkut karena kedua tempat ini berada di satu tempat yang sama. Tempat wisata ini seringkali disebut pula sebagai museum topeng karena memang berisi topeng dengan berbagai model dan bentuk. Namun, D’topeng tidak hanya berisi topeng, tetapi juga berisi pameran benda-benda berupa barang tradisional dan barang antik. Topeng, barang tradisional, dan barang antik dalam museum ini dapat dikelompokkan menjadi lima jenis berdasarkan bahan pembuatannya, yaitu berbahan kayu, batu, logam, kain, dan keramik. 

              Benda paling diminati pengunjung untuk diamati dan paling mendominasi tempat ini adalah topeng. Ada beragam jenis topeng di museum ini. Topengtopeng tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua bagian berdasarkan bahan dasarnya, yaitu yang berbahan dasar kayu dan batu. Topeng berbahan kayu sebagian besar berasal dari daerah Bali, Jawa Timur, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jakarta, dan Jawa Barat. Sementara itu, topeng yang berbahan batu berasal dari daerah sekitar Sulawesi dan Maluku. 

            Selain topeng, barang-barang tradisional juga dipamerkan di D’topeng. Barang-barang tradisional yang mengisi etalase-etalase museum ini adalah senjata tradisional, perhiasan wanita zaman dahulu yang berbahan dasar logam, batikbatik motif lama, dan hiasan rumah kuno. Berdasarkan bahan dasarnya, barangbarang tersebut juga dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu berbahan dasar kayu seperti hiasan rumah berupa kepala kerbau asal Toraja, berbahan dasar batu seperti alat penusuk jeruk asal Batak, berbahan dasar logam seperti pisau sunat dan perhiasan logam asal Sumba, dan yang berbahan dasar kain seperti batik berbagai motif asal Yogyakarta dan Jawa Tengah. 

               Benda terakhir yang mengisi museum ini adalah barang kuno yang sampai saat ini masih dianggap bernilai seni tinggi atau biasa kita sebut barang antik. Barang-barang antik seperti guci tua, kursi antik, bantal arwah, mata uang zaman kerajaan-kerajaan, dan benda-benda lain dapat dijumpai di dalam museum D’topeng. Barang-barang tersebut dapat pula digolongkan menjadi dua jenis berdasarkan bahan pembuatannya, yaitu keramik dan logam. Barang antik berbahan dasar keramik di museum ini adalah guci-guci tua peninggalan salah satu dinasti di China dan bantal yang digunakan untuk bangsawan Dinasti Yuan (China) yang sudah meninggal. Sementara itu, barang antik yang berbahan dasar logam adalah jinggaran coin (Kerajaan Gowa), mata uang kerajaan Majapatih, koin VOC, dan kursi antik asal jawa Tengah. 

             Selain untuk dipamerkan, benda-benda di D’topeng ini juga dimanfaatkan sebagai media pelestarian budaya. Selanjutnya, D’topeng berfungsi pula sebagai museum, yaitu sebagai konservasi benda-benda langka agar terhindar dari perdagangan illegal.

Selasa, 31 Juli 2018

Wayang



              Wayang adalah seni pertunjukan yang telah ditetapkan sebagai warisan budaya asli Indonesia. UNESCO, lembaga yang membawahi kebudayaan dari PBB, pada 7 November 2003 menetapkan wayang sebagai pertunjukan bayangan boneka tersohor dari Indonesia, sebuah warisan mahakarya dunia yang tidak ternilai dalam seni bertutur (Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity).


               Para wali songo, penyebar agama Islam di Jawa sudah membagi wayang menjadi tiga. Wayang kulit di timur, wayang wong atau wayang orang di Jawa Tengah, dan wayang golek atau wayang boneka di Jawa Barat. Penjenisan tersebut disesuaikan dengan penggunaan bahan wayang. Wayang kulit dibuat dari kulit hewan ternak, bisa berupa kerbau, sapi, atau kambing. Wayang wong berarti wayang yang ditampilkan atau diperankan oleh orang. Wayang golek adalah wayang yang menggunakan boneka kayu sebagai pemeran tokoh. Selanjutnya, untuk mempertahankan budaya wayang agar tetap dicintai, seniman mengembangkan wayang dengan bahan-bahan lain, antara lain wayang suket dan wayang motekar.

                  

              Wayang kulit dilihat dari umur, dan gaya pertunjukannya pun dibagi lagi menjadi bermacam jenis. Jenis yang paling terkenal, karena diperkirakan memiliki umur paling tua adalah wayang purwa. Purwa berasal dari bahasa Jawa, yang berarti awal. Wayang ini terbuat dari kulit kerbau yang ditatah, dan diberi warna sesuai kaidah pulasan wayang pendalangan, diberi tangkai dari bahan tanduk kerbau bule yang diolah sedemikian rupa dengan nama cempurit yang terdiri dari: tuding dan gapit. Cerita yang biasanya digunakan adalah Ramayana dan Mahabharata. Wayang purwa terdiri atas beberapa gaya atau gagrak seperti, gagrak Kasunanan, Mangkunegaraan; Ngayogyakarta, Banyumasan, Jawatimuran, Kedu, Cirebon dan sebagainya. Selain wayang purwa jenis wayang kulit yang lain yaitu: wayang madya wayang gedog wayang dupara, wayang wahyu, wayang suluh, wayang kancil, wayang calonarang, wayang krucil; wayang ajen; wayang sasak, wayang sadat, wayang parwa wayang arja, wayang gambuh, wayang cupak dan wayang beber yang saat ini masih berkembang di Pacitan.

             Wayang wong (bahasa Jawa yang berarti ‘orang’) adalah salah satu pertunjukan wayang yang diperankan langsung oleh orang. Wayang orang yang dikenal di suku Banjar adalah wayang gung, sedangkan yang dikenal di suku Jawa adalah wayang topeng. Wayang topeng dimainkan oleh orang yang menggunakan topeng. Wayang tersebut dimainkan dengan iringan gamelan dan tari-tarian. Perkembangan wayang orang pun saat ini beragam, tidak hanya digunakan dalam acara ritual, tetapi juga digunakan dalam acara yang bersifat menghibur.

            Selanjutnya, jenis wayang yang lain adalah wayang golek yang mempertunjukkan boneka kayu. Wayang golek berasal dari Sunda. Wayang ini disebut juga sebagai wayang thengul. Selain wayang golek Sunda, wayang yang terbuat dari kayu adalah wayang menak atau sering juga disebut wayang golek menak karena cirinya mirip dengan wayang golek. Wayang tersebut pertama kali dikenalkan di Kudus. Selain golek, wayang yang berbahan dasar kayu adalah wayang klithik. Wayang klithik berbeda dengan golek. Wayang tersebut berbentuk pipih seperti wayang kulit. Akan tetapi, cerita yang diangkat adalah cerita Panji dan Damarwulan. Wayang lain yang terbuat dari kayu adalah wayang papak atau cepak, wayang timplong, wayang potehi, wayang golek techno, dan wayang ajen.

          Perkembangan terbaru dunia pewayangan menghasilkan kreasi berupa wayang suket. Disebut wayang suket karena wayang yang digunakan terbuat dari rumput yang dibentuk menyerupai wayang kulit. Wayang suket merupakan tiruan dari berbagai figur wayang kulit yang terbuat dari rumput (bahasa Jawa: suket). Wayang suket biasanya dibuat sebagai alat permainan atau penyampaian cerita pewayangan kepada anak-anak di desa-desa Jawa.

           Dalam versi lebih modern, terdapat wayang motekar atau wayang plastik berwarna. Wayang motekar adalah sejenis pertunjukan teater bayang-bayang atau serupa wayang kulit. Akan tetapi, jika wayang kulit memiliki bayangan yang berwarna hitam saja, wayang motekar menggunakan teknik terbaru hingga bayang-bayangnya bisa tampil dengan warna-warni penuh. Wayang motekar ditemukan dan dikembangkan oleh Herry Dim setelah melewati eksperimen lebih dari delapan tahun (1993 – 2001). Wayang tersebut menggunakan bahan plastik berwarna, sistem pencahayaan teater modern, dan layar khusus.

            Semua jenis wayang di atas merupakan wujud ekspresi kebudayaan yang dapat dimanfaatkan dalam berbagai   kehidupan antara lain sebagai media pendidikan, media informasi, dan media hiburan. Wayang bermanfaat sebagai media pendidikan karena isinya banyak memberikan ajran-ajaran kehidupan kepada manusia. Pada era modern ini, wayang juga banyak digunakan sebagai media informasi. Ini antara lain dapat kita lihat dari pagelaran wayang yang disisipi informasi tentang program pembangunan seperti keluarga berencana (KB), pemilihan umum, dan sebagainya.Yang terakhir, meski semakin jarang, wayang masih tetap menjadi media hiburan.





Tugas
1. Informasi apa saja yang disampaikan dalam teks terserbut.
2. Mengapa wayang ditetapkan sebagai mahakarya dunia?
3. Ada berapa jenis wayang berdasarkan bahan pembuatanya?
4. Apa manfaat wayang bagi pengembangan warisan budaya?
5. Mengapa teks tersebut digolongkan teks observasi?
6. Mempresentasikan hasil kerja.



Rabu, 25 Juli 2018

Juru Masak karya Damhuri Muhammad (Cerpen)

         Perhelatan bisa kacau tanpa kehadiran lelaki itu. Gulai Kambing akan terasa hambar lantaran racikan bumbu tak meresap ke dalam daging. Kuah Gulai Kentang dan Gulai Rebung bakal encer karena keliru menakar jumlah kelapa parut hingga setiap menu masakan kekurangan santan. Akibatnya, berseraklah gunjing dan cela yang mesti ditanggung tuan rumah, bukan karena kenduri kurang meriah, tidak pula karena pelaminan tempat bersandingnya pasangan pengantin tak sedap dipandang mata, tapi karena macam-macam hidangan yang tersuguh tak menggugah selera. Nasi banyak gulai melimpah, tapi helat tak bikin kenyang. Ini celakanya bila Makaji, juru masak handal itu tak dilibatkan.
         Beberapa tahun lalu, pesta perkawinan Gentasari dengan Rustamadji yang digelar dengan menyembelih tigabelas ekor kambing dan berlangsung selama tiga hari, tak berjalan mulus, bahkan hampir saja batal. Keluarga mempelai pria merasa dibohongi oleh keluarga mempelai wanita yang semula sudah berjanji bahwa semua urusan masak-memasak selama kenduri berlangsung akan dipercayakan pada Makaji, juru masak nomor satu di Lareh Panjang ini. Tapi, di hari pertama perhelatan, ketika rombongan keluarga mempelai pria tiba, Gulai Kambing, Gulai Nangka, Gulai Kentang, Gulai Rebung dan aneka hidangan yang tersaji ternyata bukan masakan Makaji. Mana mungkin keluarga calon besan itu bisa dibohongi? Lidah mereka sudah sangat terbiasa dengan masakan Makaji.
“Kalau besok Gulai Nangka masih sehambar hari ini, kenduri tak usah dilanjutkan!” ancam Sutan Basabatuah, penghulu tinggi dari keluarga Rustamadji.
“Apa susahnya mendatangkan Makaji?”
“Percuma bikin helat besar-besaran bila menu yang terhidang hanya bikin malu.”
       Begitulah pentingnya Makaji. Tanpa campur tangannya, kenduri terasa hambar, sehambar Gulai Kambing dan Gulai Rebung karena bumbu-bumbu tak diracik oleh tangan dingin lelaki itu. Sejak dulu, Makaji tak pernah keberatan membantu keluarga mana saja yang hendak menggelar pesta, tak peduli apakah tuan rumah hajatan itu orang terpandang yang tamunya membludak atau orang biasa yang hanya sanggup menggelar syukuran seadanya. Makaji tak pilih kasih, meski ia satu-satunya juru masak yang masih tersisa di Lareh Panjang. Di usia senja, ia masih tangguh menahan kantuk, tangannya tetap gesit meracik bumbu, masih kuat ia berjaga semalam suntuk.
“Separuh umur Ayah sudah habis untuk membantu setiap kenduri di kampung ini, bagaimana kalau tanggungjawab itu dibebankan pada yang lebih muda?” saran Azrial, putra sulung Makaji sewaktu ia pulang kampung enam bulan lalu.
“Mungkin sudah saatnya Ayah berhenti,”
“Belum! Akan Ayah pikul beban ini hingga tangan Ayah tak lincah lagi meracik bumbu,” balas Makaji waktu itu.
“Kalau memang masih ingin jadi juru masak, bagaimana kalau Ayah jadi juru masak di salah satu Rumah Makan milik saya di Jakarta? Saya tak ingin lagi berjauhan dengan Ayah,”
         Sejenak Makaji diam mendengar tawaran Azrial. Tabiat orangtua selalu begitu, walau terasa semanis gula, tak bakal langsung direguknya, meski sepahit empedu tidak pula buru-buru dimuntahkannya, mesti matang ia menimbang. Makaji memang sudah lama menunggu ajakan seperti itu. Orangtua mana yang tak ingin berkumpul dengan anaknya di hari tua? Dan kini, gayung telah bersambut, sekali saja ia mengangguk, Azrial segera memboyongnya ke rantau, Makaji tetap akan punya kesibukan di Jakarta, ia akan jadi juru masak di Rumah Makan milik anaknya sendiri.
“Beri Ayah kesempatan satu kenduri lagi!”
“Kenduri siapa?” tanya Azrial.
“Mangkudun. Anak gadisnya baru saja dipinang orang. Sudah terlanjur Ayah sanggupi, malu kalau tiba-tiba dibatalkan,”
         Merah padam muka Azrial mendengar nama itu. Siapa lagi anak gadis Mangkudun kalau bukan Renggogeni, perempuan masa lalunya. Musabab hengkangnya ia dari Lareh Panjang tidak lain adalah Renggogeni, anak perempuan tunggal babeleng itu. Siapa pula yang tak kenal Mangkudun? Di Lareh Panjang, ia dijuluki tuan tanah, hampir sepertiga wilayah kampung ini miliknya. Sejak dulu, orang-orang Lareh Panjang yang kesulitan uang selalu beres di tangannya, mereka tinggal menyebutkan sawah, ladang atau tambak ikan sebagai agunan, dengan senang hati Mangkudun akan memegang gadaian itu.
            Masih segar dalam ingatan Azrial, waktu itu Renggogeni hampir tamat dari akademi perawat di kota, tak banyak orang Lareh Panjang yang bisa bersekolah tinggi seperti Renggogeni. Perempuan kuning langsat pujaan Azrial itu benar-benar akan menjadi seorang juru rawat. Sementara Azrial bukan siapa-siapa, hanya tamatan madrasah aliyah yang sehari-hari bekerja honorer sebagai sekretaris di kantor kepala desa. Ibarat emas dan loyang perbedaan mereka.
“Bahkan bila ia jadi kepala desa pun, tak sudi saya punya menantu anak juru masak!” bentak Mangkudun, dan tak lama berselang berita ini berdengung juga di kuping Azrial.
“Dia laki-laki taat, jujur, bertanggungjawab. Renggo yakin kami berjodoh,”
“Apa kau bilang? Jodoh? Saya tidak rela kau berjodoh dengan Azrial. Akan saya carikan kau jodoh yang lebih bermartabat!”
“Apa dia salah kalau ayahnya hanya juru masak?”
“Jatuh martabat keluarga kita bila laki-laki itu jadi suamimu. Paham kau?”
           Derajat keluarga Azrial memang seumpama lurah tak berbatu, seperti sawah tak berpembatang, tak ada yang bisa diandalkan. Tapi tidak patut rasanya Mangkudun memandangnya dengan sebelah mata. Maka, dengan berat hati Azrial melupakan Renggogeni. Ia hengkang dari kampung, pergi membawa luka hati. Awalnya ia hanya tukang cuci piring di Rumah Makan milik seorang perantau dari Lareh Panjang yang lebih dulu mengadu untung di Jakarta. Sedikit demi sedikit dikumpulkannya modal, agar tidak selalu bergantung pada induk semang. Berkat kegigihan dan kerja keras selama bertahun-tahun, Azrial kini sudah jadi juragan, punya enam Rumah Makan dan duapuluh empat anak buah yang tiap hari sibuk melayani pelanggan. Barangkali, ada hikmahnya juga Azrial gagal mempersunting anak gadis Mangkudun. Kini, lelaki itu kerap disebut sebagai orang Lareh Panjang paling sukses di rantau. Itu sebabnya ia ingin membawa Makaji ke Jakarta. Lagi pula, sejak ibunya meninggal, ayahnya itu sendirian saja di rumah, tak ada yang merawat, adik-adiknya sudah terbang-hambur pula ke negeri orang. Meski hidup Azrial sudah berada, tapi ia masih saja membujang. Banyak yang ingin mengambilnya jadi menantu, tapi tak seorang perempuan pun yang mampu luluhkan hatinya. Mungkin Azrial masih sulit melupakan Renggogeni, atau jangan-jangan ia tak sungguh-sungguh melupakan perempuan itu.
             Kenduri di rumah Mangkudun begitu semarak. Dua kali meriam ditembakkan ke langit, pertanda dimulainya perhelatan agung. Tak biasanya pusaka peninggalan sesepuh adat Lareh Panjang itu dikeluarkan. Bila yang menggelar kenduri bukan orang berpengaruh seperti Mangkudun, tentu tak sembarang dipertontonkan. Para tetua kampung menyiapkan pertunjukan pencak guna menyambut kedatangan mempelai pria. Para pesilat turut ambil bagian memeriahkan pesta perkawinan anak gadis orang terkaya di Lareh Panjang itu. Maklumlah, menantu Mangkudun bukan orang kebanyakan, tapi perwira muda kepolisian yang baru dua tahun bertugas, anak bungsu pensiunan tentara, orang disegani di kampung sebelah. Kabarnya, Mangkudun sudah banyak membantu laki-laki itu, sejak dari sebelum ia lulus di akademi kepolisian hingga resmi jadi perwira muda. Ada yang bergunjing, perjodohan itu terjadi karena keluarga pengantin pria hendak membalas jasa yang dilakukan Mangkudun di masa lalu. Aih, perkawinan atas dasar hutang budi.
           Mangkudun benar-benar menepati janji pada Renggogeni, bahwa ia akan carikan jodoh yang sepadan dengan anak gadisnya itu, yang jauh lebih bermartabat. Tengoklah, Renggogeni kini tengah bersanding dengan Yusnaldi, perwira muda polisi yang bila tidak ‘macam-macam’ tentu karirnya lekas menanjak. Duh, betapa beruntungnya keluarga besar Mangkudun. Tapi, pesta yang digelar dengan menyembelih tiga ekor kerbau jantan dan tujuh ekor kambing itu tak begitu ramai dikunjungi. Orang-orang Lareh Panjang hanya datang di hari pertama, sekedar menyaksikan benda-benda pusaka adat yang dikeluarkan untuk menyemarakkan kenduri, setelah itu mereka berbalik meninggalkan helat, bahkan ada yang belum sempat mencicipi hidangan tapi sudah tergesa pulang.
“Gulai Kambingnya tak ada rasa,” bisik seorang tamu.
“Kuah Gulai Rebungnya encer seperti kuah sayur Toge. Kembung perut kami dibuatnya,”
“Dagingnya keras, tidak kempuh. Bisa rontok gigi awak dibuatnya,”
“Masakannya tak mengeyangkan, tak mengundang selera.”
“Pasti juru masaknya bukan Makaji!”
          Makin ke ujung, kenduri makin sepi. Rombongan pengantar mempelai pria diam-diam juga kecewa pada tuan rumah, karena mereka hanya dijamu dengan menu masakan yang asal-asalan, kurang bumbu, kuah encer dan daging yang tak kempuh. Padahal mereka bersemangat datang karena pesta perkawinan di Lareh Panjang punya keistimewaan tersendiri, dan keistimewaan itu ada pada rasa masakan hasil olah tangan juru masak nomor satu. Siapa lagi kalau bukan Makaji?
“Kenapa Makaji tidak turun tangan dalam kenduri sepenting ini?” begitu mereka bertanya-tanya.
“Sia-sia saja kenduri ini bila bukan Makaji yang meracik bumbu,”
“Ah, menyesal kami datang ke pesta ini!”
          Dua hari sebelum kenduri berlangsung, Azrial, anak laki-laki Makaji, datang dari Jakarta. Ia pulang untuk menjemput Makaji. Kini, juru masak itu sudah berada di Jakarta, mungkin tak akan kembali, sebab ia akan menghabiskan hari tua di dekat anaknya. Orang-orang Lareh Panjang telah kehilangan juru masak handal yang pernah ada di kampung itu. Kabar kepergian Makaji sampai juga ke telinga pengantin baru Renggogeni. Perempuan itu dapat membayangkan betapa terpiuh-piuhnya perasaan Azrial setelah mendengar kabar kekasih pujaannya telah dipersunting lelaki lain.

Kamis, 07 Juni 2018

RAMADHAN TERAKHIR UNTUK IBU (Cerpen)


Hujan deras ini benar-benar membuka seluruh memori lamaku bersama sesosok wanita yang sejak tujuh belas tahun lalu tiada. Hujan sore ini mampu melelehkan kerasnya hati yang selama ini lupa bahwa dalam diriku mengalir darah pahlawan tanpa tanda jasa, pahlawan yang kasihnya sepanjang masa dan pahlawan yang cintanya terang, seterang sang surya yang ikhlas menyinari dunia. Hujan sore ini benar-benar membawa ingatanku jauh ke belakang. Mengenang gelora perjuangannya yang tak pernah padam. IBU.

***

“Bu….Ibu, Ibu di mana?” teriakku.

“ia Rif, ibu di dapur, ada apa?” jawab ibu sembari masak sayur kacang kesukaanku untuk berbuka puasa.

Arif Hasan adalah nama lengkapku. Ibu sering memanggilku Arif, namun sesekali ia memanggilku Hasan. Ntahlah, ntah mengapa ibu jarang sekali memanggilku dengan sebutan Hasan, padahal seluruh tetangga dan teman-temanku sangat akrab memanggilku dengan sebutan Hasan. Sering aku bertanya akan hal ini pada Ibu, namun jawaban ibu selalu sama “Ibu ingin melihatmu menjadi orang yang bijaksana dan berlaku arif pada semua orang”. Itulah jawabnya. Tak berubah. Bahkan pada saat terakhirnya di dunia, pertanyaanku belum juga terjawab, saat itu ia hanya memanggilku “Hasan” dan itulah kata terakhir yang kudengar dari ibu.

Sebagai anak satu-satunya aku sangat disayang ibu. Namun aku sering merasa sedih sebab aku tidak pernah melihat ayahku, ayah telah meninggalkan kami –aku dan ibu– ketika aku masih dalam kandungan. Hanya foto hitam putih yang hampir usang berukuran 6×8 cm yang selalu menjadi pengobat rinduku pada ayah.

“Ini bu, anu, emm..,” jawabku tersendat-sendat sambil mengatur nafasku yang belum stabil setelah lari marathon dari rumah pak Yadi, guru mengaji sekaligus imam masjid di kampungku.

“Ada apa rif? Kok ona anu, ona anu gitu?” Tanya ibu keheranan.

“Begini bu, tadi Arif bertemu dengan pak Yadi, beliau bilang malam ini adalah giliran kita menyediakan makanan buat jamaah yang membaca Al Qur’an (tadarus) di Masjid,” jawabku semangat.

Seperti biasa, setiap bulan Ramadhan, di Masjid Al-Amin di kampungku, baik anak-anak, remaja maupun ibu-ibu, semuanya membaca Al-Qur’an. Rutin setiap malam. Semangat mereka sangat luar biasa untuk memperbanyak ibadah di bulan yang paling suci ini, berlomba-lomba mengkhatamkan Al-Qur’an. Sehingga akupun ikut terhanyut oleh euforia ibadah yang pasti berhadiah surga.

“Astaghfirullah, ibu lupa nak,” jawab ibu gemetar.

Kulihat mata ibu, aku tahu, rasa bersalah, penyesalan dan sedih sedang bergemuruh di hati ibu. Ku coba untuk tenang, pura-pura tidak tau apa yang sedang terjadi.

“Ada apa bu?” jawabku cepat.

“Nggak…nggak ada apa-apa kok, yasudah sekarang kamu mandi ya,  ibu sudah siapkan minuman dan makanan kesukaanmu untuk berbuka puasa,” jawab ibu seolah mengalihkan pembicaraan.

“Ia, ibukk. Siap,” jawabku kegirangan sambil menghormati pada ibu, layaknya seorang polisi sedang melapor pada komandannya.

Secepat kilat kulaju kakiku menuju kamar mandi, aku sudah tidak sabar ingin segera menikmati lezatnya masakan ibuku yang tiada tandingannya, walau dengan sajian hotel berbintang-bintang sekalipun.

Ramadhan kali ini memang sangat berbeda dengan bulan-bulan Ramadhan sebelumnya. Ramadhan kali ini aku duduk di kelas I SMP. Sudah saatnya aku harus menjadi dewasa, sebab aku harus mampu menjaga dan membatu ibuku mencari nafkah. Sampai saat ini ibu belum memiliki pekerjaan tetap. Sejak ditinggal oleh ayah, ibuku selalu bekerja sendirian siang dan malam. Kerjanya serabutan. Terkadang ibu harus sprint dari satu rumah ke rumah lain untuk mencuci pakaian, ibu juga pernah memungut barang-barang bekas dari tempat sampah hanya demi membahagiakan diriku. Sehingga tak jarang ibuku berlinangan air mata sebab seharian tidak mendapatkan uang. Ibu juga sering harus menahan lapar demi diriku, namun ia tak pernah putus asa untuk membahagiakan dan menyekolahkanku.

Aku tau bahwa ibu ingin sekali melihatku menjadi orang sukses dan berguna. Semangat itulah yang membuatku selalu tegar dan yakin walaupun keadaan tak mendukung, walaupun hari-hari terasa sangat sulit bagiku, walau tidak sedikit yang meremehkanku. Aku ingin suatu hari nanti bisa berkeliling dunia, khususnya aku ingin menginjakkan kaki di negeri seribu menara itu, negeri peradaban dan negeri para syuhada. Satu lagi, aku ingin sekali membawa ibuku ke mekah.

Ini adalah bulan Ramadhan. Ibu pernah bilang bahwa bulan ini adalah bulan penuh hikmah, bulan penuh ampunan dan bulan dikabulkannya doa bagi siapapun yang tulus meminta. Inilah kesempatan bagiku untuk senantiasa memohon pada Allah SWT agar semua cita-cita dan keinginanku untuk membahagiakan ibu dapat tercapai. Aku tidak ingin melihat ibu menangis lagi, aku tidak ingin melihatnya berjuang ke sana kemari hanya demi sesuap nasi, aku hanya ingin melihatnya tersenyum bahagia tanpa beban berat yang harus diemban.

“Yess,” ucapku dengan penuh semangat, sambil mengepalkan tinjuku layaknya seorang striker sepak bola yang baru saja melesakkan gol pertamanya, setelah aku memasangkan kancing terakhir baju koko ini. Ini adalah satu-satunya baju terbaikku yang dibeli oleh ibu saat Ramadhan tahun lalu. Malam ini adalah malam ke sepuluh Ramadhan dan aku tidak mau kalah rapi dengan teman-teman tadarusku.

Setelah penampilanku sempurna dengan peci di kepala, sarung menggantung rendah dan baju koko memperindah pesona wajah, aku langsung menuju di mana ibuku berada. Lima belas menit lagi berbuka. Aku sudah tidak sabar ingin menikmati hidangan spesial buatan ibuku. Namun belum juga aku sampai dapur, aku melihat ibu dari balik rongga-rongga pintu yang sudah rapuh, pintu pemisah antara ruang tamu dan dapur, sedang duduk. Ibu terlihat sangat lelah.

Ntah mengapa tiba-tiba tubuhku terasa lemah. Degup jantung semakin cepat. Persendianku kaku. Payah. Sudah kupaksa. Tetap saja kalah. Air mata ibu benar-benar membuatku takut. Ada apa? Sudah sekian kalinya ibu menangis. Aku kasihan melihat ibu. Mulai saat ini aku harus bisa membahagiakan ibu.

Sejuta rasa sedang bergemuruh di hatiku. Sedih, gelisah, bingung, semua bersatu. Namun aku berusaha untuk tetap tenang, berpikir positif, bahwa tidak sedang terjadi apa-apa pada ibu. Semoga ibu hanya sakit gigi. Semoga ibu hanya kelilipan. Semoga ibu hanya…semoga ibu tidak apa-apa…semoga…

“Ibuuuuu,” teriakku kencang sambil membuka pintu dan berlari menuju tempat duduknya. Kupeluk ibuku erat-erat.

“Bu, Ibu kenapa? Kok menangis? Ibu sehat kan?” tanyaku pelan, berharap ibuku baik-baik saja.

“Ia Rif, ibu baik-baik saja,” jawab ibu lirih.


“Tubuh ibu gemetar, mengapa?” ucapku dalam hati. Semakin lama ibu memelukku semakin erat.

Suasana hatiku semakin tak karuan. Tidak biasanya ibu seperti ini. Ibu terus mendekapku seolah ia akan berpisah denganku, seolah ia ingin pergi jauh dariku.

“Mungkinkah? Mungkinkah ibu akan pergi meninggalkanku? Mungkinkah ini Ramadhan Terakhir Ibuku? Ya Allah, semoga Engkau tidak mengambil ibuku secepat ini. Aku ingin sekali membahagiakannya,” aku terus bergumam dalam hati. Rasanya aku tak ingin lepas dari pelukan ibuku.

Perlahan ibu menarik tangannya dari pundakku, “Alhamdulillah,” syukurku dalam hati. Kini ibu sudah tenang, wajahnya cerah, senyumnya merekah, walaupun butir-butir air mata masih membasahi pipinya, ibuku terlihat sangat cantik. Apalagi dengan kerudung berwarna putih yang menjuntai panjang menutupi rambut sampai sepertiga tubuhnya, dengan rok lebar panjang menutupi setengah badan hingga batas bawah mata kaki ibuku, dengan kaus kaki dan manset yang menutupi kaki dan pergelangan tangannya, ditambah lagi dengan lesung pipi yang merekah saat ibu menunjukkan senyum lima centinya, ibuku benar-benar terlihat seperti bidadari surga.

“Arif…sekarang arif batalin puasanya ya, tuh adzannya sudah berkumandang,” bujuk ibuku sambil memandang wajah dan memegang kedua pipiku.

“(Tanpa bersuara, aku mengangguk mengiyakan perkataan ibu)”

Bergegas aku pergi ke meja kecil yang ada di dapur. Ku teguk sedikit air mineral serta segelas cendol kesukaanku yang sedari tadi telah dipersiapkan ibu khusus buatku.

”Alhamdulillah. Lega. Semoga puasaku hari ini diterima oleh-Nya. Aamiin,” ucapku dalam hati.

Sebelum pergi ke masjid, kulihat ibu membawa sesuatu berbungkus plastik hitam menuju ke arahku.

“Arif, ini makanan buat jamaah yang tadarus malam ini ya,” kata ibu sambil memberikan plastik itu padaku. Pelan-pelan ku berusaha melihat isinya. Beberapa potong roti dan buah jeruk rupanya.

“Astaghfirullah,” aku bergumam dalam hati, “dari mana ibu mendapatkan makanan ini? Padahal tadi siang ibu bilang bahwa hari ini tidak mendapatkan uang. Uang yang digunakan untuk menyediakan hidangan berbuka hari inipun adalah uang terakhir dari upah menyuci beberapa hari yang lalu. Ya Allah, betapa mulianya hati ibu. Mungkin ini yang membuat ibu menangis. Mungkin ibu telah mengorbankan sesuatu yang berharga untuk membeli makanan ini. Atau mungkiiin? Ah ya sudahlah, apapun itu aku harus tetap berpikir positif, semoga saja ini adalah rezeki yang diturunkan Allah dari langit untuk ibuku.

“Baik bu, Arif akan berikan makanan ini kepada pak Yadi, semoga temen-temen Arif dan jamaah yang lain suka dengan makanan ini,” ucapku sambil tersenyum pada ibu.

“Aamiin,” jawab ibu sambil membalas senyumku.

Kini ibu mengambil posisi setengah duduk, berusaha mengimbangi ketinggianku. Ibu kembali memegang pipiku. Kulihat mata ibu berkaca-kaca. Aku benar-benar tidak tahu apa yang sedang terjadi pada ibu hari ini. Ibu membuatku semakin takut sebab tidak biasanya ibu seperti ini.

“Arif,” dengan mata yang masih berkaca-kaca ibu memulai kata-katanya, “kamu hati-hati ya nak, jangan nakal di masjid, jadilah dewasa, jangan pernah putus asa dan menyusahkan siapapun sebab ada Allah yang senantiasa menolong kita. Apapun yang terjadi, memohonlah hanya kepada Allah. Maafkan ibu ya Arif, ibu belum bisa membahagiakanmu, ibu akan selalu berdoa agar Arif menjadi orang yang berguna.”

Kupeluk ibuku erat-erat, “Iaa Ibu, maafkan Arif juga ya bu, Arif janji akan selalu membahagiakan ibu,” jawabku agak terbata-bata sambil berusaha menahan air mata sudah membanjiri pipiku.

“Yasudah sekarang berangkat ke masjid gih, ntar telat shalat maghribnya,” ucap ibu sambil tersenyum.

“Ia bu, Arif pergi ya bu, Assalamu’alaikum,” jawabku singkat. Kemudian bergegas pergi menuju masjid sambil menenteng plastik hitam yang berisi roti dan jeruk.

“Wa’alaikumsalam Wr. Wb,” balas ibuku cepat.

Namun belum ada sepuluh meter aku melangkah, ibu kembali memanggilku, kali ini dengan sebutan yang berbeda, sebutan yang jarang sekali kudengar dari ibu.

“Hasan,” panggil ibuku sambil menunjukkan senyum terbaiknya.

Aku hanya membalikkan wajah dan membalas senyum ibu yang berdiri di depan pintu, lalu kembali meneruskan langkah. Perasaan cemas dan khawatir semakin bergemuruh di hatiku. Hari ini ibu sangat berbeda. Aku takut terjadi sesuatu pada ibu.

Malam itu aku benar-benar kehilangan semangat, hampir seluruh teman tadarusku bertanya-tanya, mereka cemas terhadap kondisiku.

“Alhamdulillah,” gumamku dalam hati, “tadarus malam ini selesai juga, aku harus segera pulang, ibu pasti sudah menungguku di rumah”.

Jarak antara rumahku dengan masjid sekitar 300 meter. Nafasku masih belum teratur. Rasanya malam ini aku adalah pelari tercepat di dunia. Tidak sampai satu menit aku telah sampai di depan pintu rumahku. Ku ketuk pintu. Ku ucap salam. Berkali-kali. Tetap saja. Tak ada jawaban. Degup jantungku semakin cepat. Takut. Tanpa izin, ku dorong pintu yang belum terkunci. Bergegas menuju kamar. “Alhamdulillah,” batinku. Ternyata ibu baik-baik saja. Kuperhatikan wajah ibu yang sedang tertidur. Agak tersenyum namun pulas sekali. Sepertinya ibu sangat kelelahan hari ini. Tanpa pikir panjang, kurebahkan juga tubuhku di atas tempat tidur. Berharap malam ini bermimpi indah dan besok pagi bisa sahur bersama ibu.

Malam ini terasa begitu cepat. Samar-samar ku dengar suara Adzan berkumandang. Aku duduk dan berusaha mengumpulkan nyawa yang masih berserakan. Ku lihat jam dinding. Pukul 04.55 WIB. Spontan aku bangkit dari tempat tidurku. “Sudah subuh, mengapa ibu tidak membangunkanku?” ucapku pelan sedikit kecewa sambil menuju kamar ibu. Ku lihat ibu masih tidur. Posisi ibu masih sama saat tadi malam aku baru pulang dari masjid. Miring sebelah kanan. Secepat mungkin kuraih pundak ibu. Kucoba bangunkan, kodorong-dorong dan kini posisinya sudah terlentang. Nihil. Perasaanku makin tak karuan. Kuarahkan jariku ke hidung ibu. Tiba-tiba pandanganku jadi gelap, darahku membeku, tulangku kaku, aku jatuh tersungkur, air matapun tak lagi terbendung. Ibu sudah tidak benafas. Ibu telah tiada. “Ibuuuuuu…,” teriakku sejadi-jadinya. Aku telah kehilangan ibu. Satu-satunya orang yang sangat kusayangi. Ramadhan tahun ini menjadi Ramadhan Terakhir bagi Ibu.

***

Aku tidak punya siapa-siapa lagi. Hidupku sebatang kara. Sejak kepergian ibu, aku berjuang sendirian untuk memenuhi kebutuhanku, mulai kebutuhan sehari-hari sampai kebutuhan sekolah. Tak jarang aku harus menahan lapar sampai berhari-hari. Segala pekerjaan ku lakoni. Memungut barang bekas, menyuci piring di rumah makan bahkan aku pernah jadi buruh pabrik. Namun sesulit apapun hidupku, nasihat ibu selalu menguatkanku “Jangan pernah putus asa”. Alhamdulillah seluruh pendidikanku mampu kuselesaikan dengan baik dan hampir setiap tahun aku memperoleh beasiswa. Cita-citaku untuk berkeliling dunia telah tercapai. Sejak menjadi seorang wartawan di salah satu media terkemuka di Indonesia, aku sudah mengunjungi lebih dari 10 Negara dan kini aku berada di Kairo, Mesir.


Nama : Indri Yanti
Sekolah : SMK N 44 Jakarta.
Jurusan Administrasi Perkantoran.

Tarian Pena (Virginia C.C. Pomantow)

Sumber gambar cerpen : Buku Bahasa Indonesia